Menjadi janda bukan pilihan tetapi ketentuan. It was happened to me. Nggak ada seorang pun yang mau pernikahannya kandas di tengah perkawinan. Begitu pun aku, seorang ibu satu anak perempuan berusia 19 tahun yang sekarang berdomisili di Kota Malang.

Dahulu ketika bekerja di sebuah bank asing negara USA di Jakarta, menjadi junior di sebuah kantor bilangan Sudirman dan berkenalan dengan teman-teman serta supervisor-supervisor baru.

Ketika awal aku bergabung di perusahaan itu ketika masih ting ting alias belum menikah. Aku terkagum-kagum dengan seorang supervisor wanita yang statusnya adalah seorang ibu tunggal. Aku hanya berpikir, kok bisa ya jadi single mom. Apa sih yang kurang dengan beliau? Masih muda, cantik dan berpenghasilan. Intinya saat itu tak terpikir kalau nantinya aku akan menikah, aku gak akan bakal pisah dan menjadi ibu tunggal.

Ternyata aku pun mengalaminya, sampai dua kali alias janda kuadrat. Menjadi janda itu apakah sebuah piihan atau ketentuan?

Baca juga:

Menjadi Janda Bukan Pilihan Tetapi Ketentuan

Kenapa menjadi janda bukan sebuah pilihan, melainkan ketentuan? Hm, menurutku ya memang bukan sebuah pilihan. Siapa juga yang mau jadi janda. Kalau pun sudah diupayakan untuk mencoba menjalankan pernikahan dengan seolah-olah tak terjadi apa-apa, padahal cerai psikologis sudah lama dijalani. Lama-lama bisa sakit jiwa.

menjadi janda bukan pilihan

sumber: unsplash.com/bethanybeck

 

Dan kedua belah pihak telah didudukkan bersama, tetapi salah satu pihak sudah tidak mau menjalani pernikahan tersebut, apa boleh buat. Kalau kata orang, dari pada banyak mudaratnya dan tidak ada manfaatnya.

Ini terjadi pada pernikahanku yang pertama, dimana papaku sebagai wali nikah memanggil kami (aku dan ayahnya anakku) sampai dua kali dan aku keukeuh menjawab tidak mau melanjutkan pernikahan. Tetapi dipanggil sama Pak Hakim, mantan pertama datang terus ke PA.

Beda lagi dengan pernikahanku yang kedua. Papaku meminta kami datang ke Jakarta dan aku sudah mengajak mantan suami kedua untuk ke Jakarta pada tanggal 19 Desember 2020, sampai aku inget banget itu tanggal!

Dan tidak ada respon dari mantan suami kedua untuk menemui wali nikahku, dengan berbagai macam alasan. Setidaknya menghubungi papaku untuk mengembalikanku baik-baik seperti dahulu memintaku baik-baik. Ah, bukan laki-laki sejati. Dipanggil ke PA pun tak datang.

Dan fix seminggu kemudian pada tanggal 25 Desember 2020 mahramku / sepupuku dari Sidoarjo (kalau papaku nggak ada, sepupu Sidoarjo ini yang menjadi wali nikahku) mendapat delegasi tugas dari papaku agar menjemputku dari rumah mantan.

Karena sejatinya wanita di Islam itu sangat dimuliakan, janganlah sampai keluar rumah dengan sendirian, sebaiknya dijemput oleh wali. Udah kayak apaan aja kalo aku keluar rumah tanpa dijemput, hah!!

Memutuskan untuk menempuh jalan perceraian, terutama di pernikahan kedua, tidak sekonyong-konyong kuputuskan. Lama sudah aku menimbang-nimbang  sejak tahun 2018. Tahun itu aku juga sudah packing untuk kembali ke Jakarta, tetapi anakku tidak mau pindah. Yang kubisa lakukan hanya banyak berdoa memohon yang terbaik padaNya.

Ada quote yang mengatakan, bila kau sedih, pergilah ke gunung. Dan itu kulakukan pada awal Oktober 2018, aku pergi mendaki bersama teman Jakarta ke Ranu Kumbolo. Ada gak, orang naik gunung sambil hitung kancing, pisah, nggak, pisah, nggak..

Turun dari mendaki gunung aku masih jalan dengan suami dan teman-temannya ke Banyuwangi. Tapi aku malah menginap di rumah seorang teman masa SMA di Situbondo, tidak ikut menginap dengan mereka, padahal aku masih punya suami saat itu. Ini yang disebut cerai psikologis, yang sudah kusinggung tadi di atas. Banyak sih hal-hal yang menunjukkan kami sudah lama cerai secara psikologis.

Kembali ke laptop, jalan perceraian yang membawaku kembali menjadi seorang janda memang bukan sebuah pilihan. Ketika masih dalam lembaga pernikahan, pilihannya banyak untuk mempertahankan pernikahan. Yang harusnya menjadi pilihan agar pernikahan itu kembali menjadi baik atau layak untuk dipertahankan tetapi nyatanya aku lagi dan lagi, aku salah satu pihak sudah tidak kuat menjalankan pernikahan semacam itu. Jadi aku itu sudah dua kali menggugat cerai di Pengadilan Agama.

Pokoknya drama, aku nunjukin yang baik-baik aja di medsos selama pernikahan kedua itu, padahal sih.. bermacam-macam sakit yang aku derita (psikosomatis akut). Alhamdulillah sembuh aku tuh karena sekarang aku lebih bahagia!

Mungkin mereka juga bahagia karena memang sudah lama mengharapkan ketidakhadiranku di keluarga mereka. Oiya dong, kan request mantan mertua minta anaknya untuk menceraikan aku di depan mukaku ketika aku baru setahun menikah. Ada ya mertua kayak getu? Hehe, ngakak aku tuh sekarang. Mamaku cuman komen, “Lha iya… getu kok nunggu sampe hampir enam tahun!” Eh jadi curcol deh 😁

Self Love

Menjadi ibu tunggal sebetulnya bukanlah pilihanku, tetapi ketentuanlah yang akhirnya menggiringku untuk mengambil keputusan tersebut. Dan aku menganggap ini semua ketentuan dari Allah SWT yang harus aku jalankan. Bahwa aku menjalani ketentuan dariNya sebagai janda kuadrat, alias janda dua kali. Ya memang harus aku jalani walau awalnya agak malu gimana getu deh. Pasti jadi omongan dong, oiya pastilah.

Kalau ada yang ngomongin nggak enak tentang aku dan sampai kedengeran pula oleh aku, mending nggak usah kujadikan teman. Ini salah satu jalanku juga untuk self love. Dengan self love aku memberi batasan tegas pada diriku sendiri dan melindungi diri ini juga menjaga hati ini.

Dan ini kejadian lho sama aku, aku cerita sedikit yah. Jadi ada tuh teman (si A) yang bilang kalau aku itu sahabatnya, muluk-muluk banget yah. Akunya sih biasa-biasa saja, karena memang agak jaga jarak dengan warga lokal setelah mengalami kejadian tertipu beberapa kali.

Eh bener kejadian, si A ini niat banget ngegibahin aku kemana-mana sampai aku dengar oleh kupingku sendiri. Dan kalian tahu dong, bagaimana kelanjutannya sikapku dengan si A.

@happydyahdotcom##xyzbca ##kelautajaloe♬ suara asli – Wina Widiyanti

Menciptakan surga sendiri yang membuatku nyaman dengan teman yang satu pandangan juga menjauhi konflik.  Makin bertambahnya usia, lingkar pertemananku memang makin berkurang dan aku lebih nyaman berteman dengan orang yang tidak bermuka dua, #eeh.

Menjadi janda bukan pilihan dan aku harus terus berhusnudzon/berbaik sangka pada ketentuan dariNya. Aku harus yakin bahwa nanti akan ada muncul momen yang indah selama aku menjalani kesendirianku.